Jadi Perempuan

gw comot dari sini

Bukan, saya bukan perempuan, saya laki-laki tulen 100%. Tapi kok saya terkesan sok tahu ya, emangnya saya tahu rasanya jadi perempuan? ya nggak sih, tapi kan saya punya mata punya telinga.

Okay, pertama, perempuan punya tugas berat sekali di dunia ini, yaitu mengandung dan melahirkan, supaya manusia bisa meneruskan eksistensinya di jagad raya. Sebetulnya kalo saya mau, tulisan ini bisa saya sudahi saja di sini, karena hal yang pertama itu sudah cukup menggambarkan susahnya jadi seorang perempuan. Tapi saya memutuskan untuk meneruskan saja entry ini, rasanya tanggung.

Hal yang lebih sederhana, soal pakaian untuk kondangan saja misalnya, laki-laki cukup sisiran, pakai jas hitam atau batik dan celana hitam, sepatu hitam, beres. Tapi perempuan? Anda bisa bayangkan untuk sebagian besar perempuan muda Indonesia saat ini, setiap kali mereka menghadapi acara kondangan pernikahan mereka harus mencari pakaian, dan kombinasi tas, dan sepatu yang berbeda dari paling tidak 3-5 kondangan sebelumnya, bahkan kadang mereka harus keluar uang lagi untuk jahit kebaya, selain itu, jika acaranya malam, dari siang mereka sudah standby di salon kecantikan, belum lagi pilihan bling-bling yang bikin pusing.

Tapi yang paling membuat saya prihatin adalah, bagaimana banyak perempuan membiarkan diri mereka dijadikan objek seksual oleh dunianya sendiri.

commercial

Contoh paling gampang bisa kita lihat di media, baik itu cetak maupun ektronik, kita lihat setiap hari setiap saat para pengiklan menjadikan kecantikan dan daya tarik seksual perempuan sebagai umpan untuk menarik konsumen. Tidak hanya itu, definisi kecantikan saja didikte oleh media, harus langsing, harus rambut panjang dan lurus, kulitnya harus putih, hidungnya harus mancung, dan sebagainya. Bagi saya yang belajar ilmu komunikasi selama 6 tahun, oh ya benar itu, memang begitu adanya. Tapi coba lihat dampaknya terhadap perempuan di dunia nyata, ilusi kecantikan ala media itu telah menimbulkan banyak kesuraman.

Anorexia misalnya, sebuah kondisi psikologis yang menjadikan penderitanya tidak pernah merasa cukup langsing sampai tinggal tulang dan kulit saja yang tersisa, dan telah memakan banyak nyawa. Atau obat langsing dan jamu yang sudah memakan korban, ada yang lumpuh, ada yang sampai meninggal dunia. Is it really worth it? untuk jadi kurus hingga mengorbankan kesehatan bahkan nyawa.

kosmetik

Selain kesehatannya, perempuan juga menghabiskan jutaan dolar dalam perputaran uang industri kosmetik, dari pensil alis, lipstik, bedak, sampai operasi kosmetik yang maaf, kadang-kadang hasilnya malah mengerikan. Membebani tubuh dengan berbagai produk kimiawi yang kadang mengandung bahan berbahaya seperti merkuri.

Pamer lekukan tubuh dan sebagian besar kulit juga saat ini menjadi tren, bagi sebagian hal ini terpaksa demi cari makan, untuk sebagian lagi memang sudah hobi. Contohnya penyanyi dangdut di daerah yang seni musiknya minimal tapi penontonnya banyak sekali dan kebanyakan laki-laki karena show-nya semi-striptease. Selain itu acara televisi yang produsernya asal buat saja yang penting ada paha dan belahan dada supaya laku. Juga lihat saja perempuan generasi muda di mal-mal. Pakaian minim sudah biasa saja seperti tank top, rok mini, kaos ketat, dsb.

Selain itu, pandangan terhadap seks pra nikah dan seks bebas yang kian menjadi wajar sekarang ini, malah sudah menjadi tren juga. Yang laki-laki sih enak, tidak ada beban, tidak punya selaput dara, tidak bisa hamil, paling tertular STD. Tapi perempuan? begitu banyak kerugian baginya dalam praktek ini. Tanpa ikatan pernikahan, perempuan yang menganut seks bebas manjadi public property di mata masyarakat, okay sebagian perempuan tidak peduli, tapi bagaimana kalau tiba-tiba hamil setelah sebulan terakhir berhubungan dengan dua atau tiga laki-laki yang berbeda? aborsi? yah ampun yang kena susah perempuannya saja…

Maaf lho ya, bukannya munafik, saya sih senang-senang saja, karena saya laki-laki normal. Sudah alami makhluk Tuhan punya insting untuk berkembang biak. Manusia diciptakan lengkap dengan nafsu. Untuk laki-laki, sudah sifat alaminya, mereka (saya juga termasuk) adalah makhluk pemburu, selain berburu makanan juga berburu pasangan untuk meneruskan garis keturunan. Sedangkan perempuan, punya insting untuk menarik laki-laki untuk membuahi mereka. Tanpa nafsu terhadap lawan jenis, manusia tidak akan mampu bertahan di dunia, logis dan sederhana sekali.

Tapi coba tanya hati nurani, ada yang salah tidak dengan hal ini? tidak perlu jauh-jauh cari referensi ke kitab suci, alkitab, atau buku kode etik, cukup membayangkan saja kalau yang termasuk di atas itu istri anda, anak perempuan anda, adik perempuan anda, atau malah ibu anda.

Masalahnya di sini adalah, mereka itu (perempuan korban mode dan tren) sadar ngga sih bahwa mereka malah merugikan diri sendiri? dari meningkatkan resiko perkosaan, pelecehan, gosip, hingga resiko tagihan kartu kredit yang membengkak untuk belanja baju dan produk kecantikan. Mungkin mereka menjawab, “kami kan ingin bebas!” Oh ya? bebas yang mana ya? coba baca lagi tulisan di atas.

Saya malah mengagumi konsep modesty perempuan seperti dalam Islam maupun dalam agama lain yang menganjurkan para perempuan untuk menutup “perhiasannya” dan menjaga kesopanan dan bersikap rendah hati.

Duh saya benar-benar terdengar seperti orang munafik ya menulis entry ini, tapi saya hanya sedang kepikiran saja. Yah terserah deh, tapi semoga hal ini bisa menjadi bahan untuk dipikirkan, demi kebaikan istri, anak, dan perempuan-perempuan yang kita cintai.

One thought on “Jadi Perempuan

  1. Betul sekali, betul dua kali, dst. Dan kalo kita mengingatkan (walaupun dengan cara yang baik) kebanyakan ga digubris. Dan bahkan kita dibilang munafik. Huh, sebel deh . . .

Leave a comment